Sabtu, 15 Oktober 2016

Etika Dalam Bisnis Internasional

     Pentingnya etika dalam dunia bisnis adalah superlatif dan global. Tren baru dan masalah timbul setiap hari yang dapat membuat beban penting untuk organisasi dan endconsumers. Saat ini, kebutuhan  untuk perilaku etis dalam organisasi telah menjadi  penting untuk menghindari tuntutan hukum mungkin. Skandal publik dan praktik penyimpangan perusahaan  menyesatkan, telah mempengaruhi persepsi publik  dari banyak organisasi. 
     Sebagai perusahaan multinasional berkembang secara global dan memasuki pasar asing, perilaku etis dari pejabat dan karyawan menganggap penting ditambahkan  sejak keanekaragaman budaya yang terkait dengan ekspansi tersebut dapat merusak nilai-nilai budaya  dan etika banyak berbagi diamati dalam organisasi adat istiadat homogeny (Mahdavi, 2001).

A. Norma-Norma Moral Yang Umum Pada Taraf Internasional
Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa norma-norma moral bersifat absolut atau tidak mutlak begitu saja.
Norma taraf bisnis dibagi menjadi tiga yaitu:
1.      Menyesuaikan Diri
Norma-norma moral yang penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non-moral untuk  perilaku manusia bisa berbeda di berbagai tempat.  Misalnya, norma-norma sopan santun dan bahkan  norma-norma hukum di semua tempat tidak sama.
2.      Regorisme Moral
Pandangan kedua memilih arah terbalik disebut “rigorisme moral”, karena mau mempertahankan  kemurnian etika yang sama seperti di negerinya  sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar  negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh  dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak  boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin menjadi kurang baik di tempat lain. Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan regorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat di tempat lain. Namun para penganut rigorisme moral kurang memperhatikan bahwa situasi  yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.
3.      Imoralisme Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-norma etika. Kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan itu ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya akan terganggu.

B. Persoalan Etika Dalam Bisnis Internasional
     Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah korporasi multinasional, yang juga disebut korporasi transnasional. Yang dimaksudkan dengannya adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi, perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status korporasi multi nasional (KMN), tetapi perusahaan yang memilki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya.
     Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda-beda. Biasanya perusahaan-perusahaan di negara lain sekurang-kurangnya untuk sebagian dimiliki oleh orang setempat, sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis yang umum ditanggung oleh pimpinan perusahaan di negara asalnya. KMN ini untuk pertama kali muncul sekitar tahun 1950-an dan mengalami perkembangan pesat. Contoh KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, General Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony, Unilever yang memiliki kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan manusia.
Di bawah ini akan dibahas usulan De George tentang norma-norma etis yang terpenting bagi KMN.
1.      Koorporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung.
          Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan tidak etis, bila KMN dengan tahu dan          mau mengakibatkan kerugian bagi negara biarpun tidak dengan sengaja atau langsung- menurut keadilan kompensatoris ia wajib memberi ganti rugi.
2.      Koorporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian.
          Norma ini tidak membatasi diri pada segi negatif, tapi memerintahkan sesuatu yang positif da ditegasakan lagi bahwa yang positif harus melebihi yang negatif.
3.      Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi.
          KMN harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara berkmbang. KMN harus bersedia melakukan alih teknologi dan alih keahlian.
4.      Koorporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua karyawannya
          KMN harus memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di negara berkembang.

C. Kesimpulan
     Ketika berbicara masalah “etika” dalam bisnis maka kita akan berbicara masalah “moral” yang bersumber didalam hati nurani manusia “a goodness or badness” (kebaikan atau keburukan). Bahwa Tuhan YME sudah menciptakan manusia dengan sesempurna mungkin yang dilengkapi dengan akal dan modal “hati nurani” didalam menjalani kehidupan sesuai dengan yang Tuhan ajarkan.
Berbisnis merupakan suatu aktivitas didalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia diperlukan sekumpulan “kode etik”  unwritten or written sebagai batas-batas dalam manusia berbisnis. 
     Pada zaman modern orientasi bisnis tanpa batas sudah menjadi issue global perdagangan internasional dan ekspansi jauh dari entitas bisnis tidak lagi terkait dengan kerangka kerja terbatas arena nasional atau bahkan regional. Isu-isu ini telah diasumsikan dimensi global dan dengan demikian memerlukan solusi global Untuk itu, ia menduga bahwa mungkin sebuah organisasi internasional merupakan kendaraan terbaik melalui mana kode etik yang mencakup semua aspek bisnis dapat dikembangkan. 
     Sekali-atas dasar seperti kode perjanjian internasional disusun, menandatangani dan meratifikasi, mungkin bijaksana untuk meninggalkan pelaksanaan perjanjian dengan subjek negara anggota untuk melakukan audit berkala oleh badan internasional yang independen. WTO akhirnya dapat mengambil peran ini. Sementara itu, organisasi global perlu mengembangkan dan menegakkan kode etik mereka sendiri secara khusus ditujukan pada isu-isu terkait dengan lingkungan bisnis multikultural multinasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar