Kemelut
Partai beringin itu kini terbelah dan mempunyai dua struktur pengurus. Satu
hasil Musyawarah Nasional Bali dengan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum,
sedangkan satu lagi hasil Munas Jakarta dengan Agung Laksono sebagai ketua
umum. Banyak pendapat berserakan di media massa menyangkut Munas mana yang
legal, mana yang abal-abal. Termasuk putusan-putusan yang sudah diambil. Di
luar itu, konflik yang dihadapi Partai Golkar sekarang adalah konflik terbesar
sepanjang sejarah partai moderen ini. Dalam usia 50 tahun, partai politik
tertua ini justru mengalami masalah yang akan mengubah wajah Partai Golkar ke
depan. Bukan hanya sisi legalitas, melainkan juga dalam kaitannya dengan
konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan.
Sehingga, diperlukan kehati-hatian dalam
menyelesaikan masalah ini, baik dari kalangan internal Partai Golkar, maupun
pihak terkait termasuk dan terutama pemerintah dan lembaga peradilan. Apabila
penanganan yang dilakukan emosional dan berdasarkan pamer kekuasaan semata,
bisa dipastikan bahwa Partai Golkar bakalan mengalami konflik permanen,
struktural dan masif yang sulit dicarikan jalan keluar. Konflik yang selama ini
terkelola dengan baik, hanya berlangsung secara tertutup, belakangan menjadi terbuka
dan diketahui oleh masyarakat luas.
Pemberian mandat kepada Ketua Umum DPP
Partai Golkar Aburizal Bakrie dalam Rapimnas VI Partai Golkar di Jakarta.
Mandat itu berisi dua opsi, yakni (1) menetapkan ARB sebagai Calon Presiden
atau Calon Wakil Presiden Partai Golkar, dan (2) memberikan mandat penuh kepada
ARB untuk menjalin komunikasi dan koalisi dengan partai politik manapun. Fakta
politik yang terjadi, ARB tidak menjadi Capres atau Cawapres, melainkan
mengusung pasangan Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Hatta Rajasa. Padahal,
dalam pemahaman yang berbeda, mandat penuh hanya diberikan dalam konteks ARB
sebagai Capres atau Cawapres, bukan malah membawa Partai Golkar untuk mengusung
pasangan Capres dari non kader dan partai politik lain.
Upaya Partai Golkar mengusung
Prabowo-Hatta ternyata tidak diikuti oleh semua pengurus, fungsionaris dan
kader Partai Golkar. Secara terbuka, atau tertutup, beberapa pengurus,
fungsionaris dan kader mendukung pasangan Jokowi-JK. Keberadaan JK sebagai
mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi alasan utama dibalik dukungan itu. Di
sinilah drama dimulai. Janji yang diucapkan ARB untuk tidak memecat kader
seperti itu, ternyata dilanggar. Padahal, berkali-kali ARB mengatakan bahwa
pengurus atau fungsionaris yang bersangkutan cukup meletakkan jabatan, selama
Pilpres berlangsung. Proses inilah yang bermuara kepada pemecatan tiga orang
kader Partai Golkar dari keanggotaan partai, yakni Agus Gumiwang Kartasasmita,
Nusron Wahid dan Poempida Hidayatullah.
Bukannya malah berupaya memberikan
penjelasan yang memadai menyangkut perbedaan tafsiran antara penganut AD Partai
Golkar versus rekomendasi Munas Riau, DPP Partai Golkar dibawah ARB malahan
memberikan sanksi kepada pengurus DPP Partai Golkar yang mendesak Munas
dilaksanakan sesuai dengan AD Partai Golkar. Sejumlah pengurus dicopot atau
digeser dari jabatannya. Bahkan, muncul ucapan, “Apa mereka yang menghendaki
Munas Oktober 2014 itu tidak ingat Surat Keputusan sebagai Dewan Pengurus DPP
Partai Golkar?” Konflik ini bisa diselesaikan, walau tetap saja sejumlah
pengurus DPP Partai Golkar hilang dalam struktur DPP Partai Golkar, nyaris
tanpa komunikasi politik yang cukup. situasi baru muncul, akibat voting
menyangkut UU tentang Pemilihan Langsung Kepala Daerah di DPR RI.
Sebelas anggota DPR RI dari Fraksi
Partai Golkar ternyata mendukung opsi pemilihan langsung kepala daerah. Sanksi
kemudian datang dengan cepat, yakni pencopotan dari jabatan struktural di dalam
tubuh Partai Golkar. Konflik baru ini masih terbatas, tidak meluas. Kalangan
elite Partai Golkar malah semakin giat melakukan konsolidasi untuk menghadapi
Munas pada bulan Januari 2015. Kandidat-kandidat Ketua Umum Partai Golkar
bermunculan, antara lain Agung Laksono, MS Hidayat, Airlangga Hartarto, Priyo
Budi Santoso, Hadjriyanto Thohari, Zainuddin Amali dan Agus Gumiwang.
Kandidat-kandidat yang bersaing itu melakukan konsolidasi secara diam-diam atau
terang-terangan.
Ketua Mahkamah Partai Golkar Muladi
mengungkapkan penyebab terjadinya konflik berkepanjangan di tubuh Golkar. Ia
menyayangkan mekanisme islah tidak kunjung terwujud dan perselisihan
kepengurusan harus dibawa ke pengadilan. Muladi mengatakan, Golkar merupakan partai
besar dan tua karena telah berdiri pada 20 Oktober 1964.
Menurut dia, ini yang membuat susunan
pengurus menjadi gemuk dan dianggapnya rentan menimbulkan perpecahan di
internal. Menurut Muladi, kondisi politik nasional ikut memengaruhi suasana
internal Golkar, khususnya dalam pertarungan Pilpres 2014. Saat itu, Golkar
gagal mengusung calon dan akhirnya mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa yang kalah oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dengan kekalahan itu, kata Muladi, untuk
pertama kalinya dalam sejarah, Golkar mengambil sikap berada di luar
pemerintahan. Hal tersebut dianggap oleh beberapa tokoh Golkar menabrak doktrin
partai yang harus selalu berada di pemerintahan demi menjalankan visi dan misi
partai. Selain itu, Muladi juga menyoroti sempitnya jarak antara waktu suksesi
kepemimpinan Golkar dengan suksesi kepemimpinan nasional. Hal itulah yang
dianggapnya menjadi pemantik pecahnya konflik di Golkar karena ada perdebatan
keras mengenai waktu pelaksanaan Musyawarah Nasional IX.
Perselisihan kepengurusan di tubuh
Golkar memuncak karena perbedaan pendapat mengenai waktu pelaksanaan Musyawarah
Nasional (Munas) IX Partai Golkar. Kubu yang berseberangan dengan Aburizal
Bakrie menuding penetapan waktu munas tak demokratis dan merupakan skenario
memenangkan calon tertentu secara aklamasi. Rapat pleno penentuan waktu Munas
IX yang digelar di Kantor DPP Partai Golkar pada 24-25 November 2014 diwarnai
kericuhan.
Bahkan, pada 25 November 2014, kericuhan
melebar, adu jotos terjadi, dan melibatkan dua kelompok pemuda yang mengklaim
sebagai organisasi sayap Partai Golkar. Golkar pun terbelah setelah kubu
Aburizal Bakrie menyelenggarakan Munas IX di Bali pada 30 November-4 Desember
2014 dan menetapkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum serta Idrus Marham
sebagai sekretaris jenderal. Sementara itu, kubu Agung Laksono menggelar Munas
IX pada 6-8 Desember 2014 di Jakarta dan menetapkan Agung Laksono sebagai ketua
umum serta Zainuddin Amali sebagai sekretaris jenderal.
Muladi mengatakan, majelis Mahkamah
Partai Golkar pada awalnya sepakat untuk memberikan putusan sela dan memelopori
islah dengan melibatkan tokoh senior Golkar. Tetapi, putusan sela itu batal
dibacakan lantaran majelis Mahkamah Partai kecewa dengan sikap kubu Aburizal
Bakrie yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung di tengah berjalannya sidang
mahkamah.
Dalam sidang putusan, empat majelis
Mahkamah Partai Golkar menyampaikan pandangan berbeda terkait putusan
perselisihan kepengurusan Partai Golkar. Muladi dan HAS Natabaya menyatakan
tidak ingin berpendapat karena pengurus Golkar hasil Munas IX Bali, atau kubu
Aburizal, sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terkait putusan sela PN
Jakarta Barat. Hal tersebut dianggap Muladi dan Natabaya sebagai sikap bahwa
kubu Aburizal tidak ingin menyelesaikan perselisihan kepengurusan Golkar
melalui Mahkamah Partai Golkar.
Dengan sikap tersebut, Muladi dan
Natabaya hanya memberikan rekomendasi agar kubu yang menang tidak mengambil
semuanya (the winners takes all), merehabilitasi kader Golkar yang dipecat,
mengakomodasi kubu yang kalah dalam kepengurusan, dan kubu yang kalah diminta
untuk tidak membentuk partai baru.
Sementara itu, anggota lain majelis
Mahkamah Partai, Djasri Marin dan Andi Mattalatta, menilai Munas IX Bali yang
menetapkan Aburizal Bakrie dan Idrus Marham sebagai Ketua Umum dan Sekretaris
Jenderal Partai Golkar secara aklamasi digelar tidak demokratis. Djasri dan
Andi menilai pelaksanaan Munas IX Jakarta jauh lebih terbuka, transparan, dan
demokratis, meski di lain sisi Andi dan Djasri menilai Munas IX Jakarta
memiliki banyak kekurangan.
Ia mengungkapkan, putusan itu harus
dilaksanakan berikut sejumlah syaratnya, yaitu mengakomodasi kubu Aburizal
secara selektif dan yang memenuhi kriteria, loyal, serta tidak melakukan
perbuatan tercela untuk masuk dalam kepengurusan partai. Majelis juga meminta
kepengurusan Agung untuk melakukan tugas utama partai, mulai dari musyawarah
daerah dan penyelenggaraan Musyawarah Nasional X Partai Golkar. Pelaksanaannya
paling lambat adalah Oktober 2016.
Kalau misalnya pengadilan menolak, maka
kuat kedudukan bagi Agung dan mau tidak mau Ical harus memberikan keleluasan
untuk Agung memimpin. Kalau kemudian diterima maka artinya Agung itu tidak
boleh melakukan apapun karena posisi Ical lebih kuat.
Seharusnya, drama perebutan Fraksi
Golkar harusnya tidak perlu terjadi jika kubu Agung mau menunggu hingga putusan
inkracht. Begitupun dengan kubu Ical, angket untuk Menteri Hukum dan HAM
(Menkumham) Yasonna Laoly pun sebaiknya tak perlu dikeluarkan secara
tergesa-gesa.
"Jadi lebih baik Agung ini menunggu
pengadilan PTUN. Memang sebaiknya kubu Ical juga tidak mengeluarkan angket
karena kedua belah pihak harus menunggu pengadilan dan angket itu Dia juga
menyarankan agar Menkumham tak lagi mengeluarkan banding, saat putusan PTUN
sudah dikeluarkan. Jika tetap dilakukan, hal itu hanya akan mengulang kejadian
di Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Seperti
diberitakan, jajaran kepengurusan Agung Laksono menggeruduk lantai 12 Gedung
DPR. Mereka ingin mengambil alih fraksi. Drama perebutan Fraksi Golkar itu pun
berakhir dengan pengusiran anggota polisi oleh kubu Agung Laksono.
Namun untuk kepengurusan, pihak Munas
Ancol dan Munas Bali masih bertarung di pengadilan.
"Islah
yang kami lakukan tidak ada kaitannya dengan kepengurusan. Islah ini berkaitan
dengan Pemilukada," kata Agung Laksono, Senin (8/6/2015) di Bandara
Internasional Hang Nadim Batam. Kata Agung, jalur islah yang ditempuh pihaknya
dan pihak Abu Rizal Bakri (ARB), untuk memastikan Golkar dapat ikut dalam
Pemilukada serentak pada Desember 2015.
Agung
mengatakan, terkait Pemilukada, ada mekanisme yang disepakti antara pihaknya
dan ARB. Dimana para calon atau kandidat dari kedua kubu, akan digabung.
Setelah itu semua akan digodok dan menyerahkan ke pihak ketiga.
Menurutnya, pertemuan ini untuk bertanya
jawab dan mendengarkan petunjuk maupun meminta pemaparan mengenai penyelesain
kisruh di tubuh Golkar. Hasilnya, kedua kubu sepakat untuk bersatu. Ada empat
poin kesepakatan yang akan ditandatangani.
Empat poin yang telah disepakati kedua
pihak adalah mengedepankan kepentingan Golkar sebagai partai. Kedua kubu
bersepakat untuk bersatu dalam proses berpartispasi dalam pilkada. "Kami
sepakat untuk membentuk tim penjaring bersama yang nanti akan menetapkan
mekanisme, sehingga akan serentak melakukan gerakan penjaringan di seluruh
Indonesia," katanya. Sementara siapa yang akan menandatangi mengenai
persyaratan pilkada, menurut MS Hidayat, pada waktunya akan diputuskan setelah
melalui prosaes musyawarah.
"Yang tentu harus mengacu kepada
undang-undang dan peraturan yang ada yang terkait tersebut," katanya. Setelah
penandatangan nanti, kedua kubu akan membentuk tim bersama dan para sekjen dari
kedua kubu akan menjadi motor untuk memenangkan pilkada. "Untuk
menggerakkan teaim work yang sudah kami sepakati, untuk bisa bekerja secara
menyeluruh dan pada waktunya. Insya Allah, pada 26 Juli nanti sudah bisa
mengikuti pendaftaran calon di KPU," kata MS Hidayat lagi.
Bersamaan dengan itu katanya, kedua kubu
akan melakukan pembicaraan dan upaya-upaya untuk lebih merekatkan kedua kubu
sehingga apa yang menjadi cita-cita bersama, menyelesaikan kemelut dan
kekisruhan Golkar, ini bisa selesai pada waktunya.
Disadari atau tidak, sesungguhnya vonis
Majelis Hakim Partai Golkar – beranggotakan 4 orang hakim – tidak ganjil —
menerima sebagian permohonan kedua kubu yang berselisih itu, adalah keputusan
yang cerdik dan cerdas. Vonis itu seperti membuang begitu saja bola panas ke
Kemenkumham, selaku lembaga hukum positif. Mahkamah partai, berupaya
menggunakan palu pemerintah, untuk memutuskan pemenangnya. Keputusan seri atau
sama kuat ini, sesungguhnya tidak memberi surprise apa-apa bagi pemerintahan
Jokowi.
Begitu juga terhadap wakilnya, Jusuf
Kalla. Kecuali itu, vonis ini menambah lamanya waktu penyelesaian konflik.
Begitu juga terhadap peluang voice dan besar kecilnya dampak keuntungan dari
suatu kemelut partai sekelas Golkar. Belum adanya keputusan final yang
mengikat, menyebabkan energy para elite dan kadernya kian terkuras. Ini tak
cuma hanya di pusat, melainkan juga di daerah.
Mari kita bahas dalam ruang yang sempit
ini, tentang untung dan ruginya partai Golkar, jika pengadilan tingkat kasasi
MA, memenangkan salah satu pihak yang bertikai. Namun sebelum kita masuk pada
bahasan itu, ada lebih baiknya, kita lihat tentang partai tua ini.
Golkar adalah partai besar, dengan
segudang pengalaman di pemerintahan. Memiliki ketajaman visi dan sumber daya
yang handal di perpolitikan tanah air. Banyak kalangan menilai, perpolitikan di
Indonesia, tidak ada arti sama sekali, tanpa adanya partai Golkar. Kader-kader
partai tua ini, adalah pembaharu, meski berada di lingkungan penguasa yang
silih berganti. Itu sebabnya, kemelut yang terjadi di tubuh partai ini, menjadi
hal yang menarik untuk disusupi. Apalagi Golkar di parlemen dan KMP, memiliki
populasi yang relatif besar.
Memenangkan kubu ARB – akan memperkuat
KMP di parlemen, meski Ketum Golkar tidak berada pada posisi puncak di KMP.
Koalisi Merah Putih, menjadi alat kontrol yang efektif dan akurat, dan
sewaktu-waktu bisa menjadi teman yang akrab, meski ini sulit. Tujuan lain KMP
untuk menguasi kepala daerah tidak lagi efektif, setelah Perpu Pemilu direvisi
atas tekanan rakyat. KMP dapat saja sewaktu-waktu jadi blunder politik, begitu
kebijakkan pemerintah dihalang-halangi di parlemen. Namun KMP menjadi daya tawar
yang menarik untuk Joko Widodo, untuk menjadi presidensial yang indenpenden,
lepas dari kungkungan politik yang membesarkan dirinya.
Lalu dengan memberi kemenangan kepada
kubu Agung Laksono, berarti membuka peluang bagi Golkar, untuk membangun
citranya dirinya di mata rakyat. Cara ini dilakukan dengan melalui kadernya
yang saat ini menjadi orang nomor dua di negeri ini. Posisi Jusuf Kalla sebagai
Wapres, sangat strategis untuk membangun citra partai kuning ini kembali.
Apalagi JK memiliki pengalaman sebagai orang nomor dua, saat menjadi Ketum
Golkar. Ini tentu akan menimbulkan ancaman sebuah manuver politik yang menarik
perhatian.
Posisi Golkar akan menjadi lebih baik,
jika dia berada di lingkungan pemerintahan, dibandingkan harus berada di luar.
Selain karena pengalaman, rakyat juga akan menjadi lebih mudah melihat Golkar
dengan berbagai attitudenya, dibandingkan di parlemen. Walau di bawah
panji-panji KMP, Golkar cs menguasai parlemen. Namun perjuangan Golkar lebih
nyata terlihat oleh rakyat, dibandingkan harus berada di luar. Apalagi
banyaknya kader partai kuning ini yang menjadi kepala daerah. Ini akan
memberikan harapan perlindungan bagi kadernya di muka hukum.
Pilihan ketiga adalah – memerintahkan
pimpinan hasil Munas Golkar priode 2009 – 2014 di Riau – bersama-sama dengan
kubu Agung Laksono, untuk kembali menggelar Munas Golkar – lalu pemerintah
(Kemenkumham) hadir sebagai wasitnya. Selama masa prosesi Munas, personel
Kemenkumham tidak boleh tidur, walau sedetikpun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar