Kamis, 11 Juni 2015

Kemelut di Golkar ( Tinjauan Sisi Hukum )

       Kemelut Partai beringin itu kini terbelah dan mempunyai dua struktur pengurus. Satu hasil Musyawarah Nasional Bali dengan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum, sedangkan satu lagi hasil Munas Jakarta dengan Agung Laksono sebagai ketua umum. Banyak pendapat berserakan di media massa menyangkut Munas mana yang legal, mana yang abal-abal. Termasuk putusan-putusan yang sudah diambil. Di luar itu, konflik yang dihadapi Partai Golkar sekarang adalah konflik terbesar sepanjang sejarah partai moderen ini. Dalam usia 50 tahun, partai politik tertua ini justru mengalami masalah yang akan mengubah wajah Partai Golkar ke depan. Bukan hanya sisi legalitas, melainkan juga dalam kaitannya dengan konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan.

        Sehingga, diperlukan kehati-hatian dalam menyelesaikan masalah ini, baik dari kalangan internal Partai Golkar, maupun pihak terkait termasuk dan terutama pemerintah dan lembaga peradilan. Apabila penanganan yang dilakukan emosional dan berdasarkan pamer kekuasaan semata, bisa dipastikan bahwa Partai Golkar bakalan mengalami konflik permanen, struktural dan masif yang sulit dicarikan jalan keluar. Konflik yang selama ini terkelola dengan baik, hanya berlangsung secara tertutup, belakangan menjadi terbuka dan diketahui oleh masyarakat luas.

        Pemberian mandat kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie dalam Rapimnas VI Partai Golkar di Jakarta. Mandat itu berisi dua opsi, yakni (1) menetapkan ARB sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden Partai Golkar, dan (2) memberikan mandat penuh kepada ARB untuk menjalin komunikasi dan koalisi dengan partai politik manapun. Fakta politik yang terjadi, ARB tidak menjadi Capres atau Cawapres, melainkan mengusung pasangan Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Hatta Rajasa. Padahal, dalam pemahaman yang berbeda, mandat penuh hanya diberikan dalam konteks ARB sebagai Capres atau Cawapres, bukan malah membawa Partai Golkar untuk mengusung pasangan Capres dari non kader dan partai politik lain.

        Upaya Partai Golkar mengusung Prabowo-Hatta ternyata tidak diikuti oleh semua pengurus, fungsionaris dan kader Partai Golkar. Secara terbuka, atau tertutup, beberapa pengurus, fungsionaris dan kader mendukung pasangan Jokowi-JK. Keberadaan JK sebagai mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi alasan utama dibalik dukungan itu. Di sinilah drama dimulai. Janji yang diucapkan ARB untuk tidak memecat kader seperti itu, ternyata dilanggar. Padahal, berkali-kali ARB mengatakan bahwa pengurus atau fungsionaris yang bersangkutan cukup meletakkan jabatan, selama Pilpres berlangsung. Proses inilah yang bermuara kepada pemecatan tiga orang kader Partai Golkar dari keanggotaan partai, yakni Agus Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid dan Poempida Hidayatullah.

        Bukannya malah berupaya memberikan penjelasan yang memadai menyangkut perbedaan tafsiran antara penganut AD Partai Golkar versus rekomendasi Munas Riau, DPP Partai Golkar dibawah ARB malahan memberikan sanksi kepada pengurus DPP Partai Golkar yang mendesak Munas dilaksanakan sesuai dengan AD Partai Golkar. Sejumlah pengurus dicopot atau digeser dari jabatannya. Bahkan, muncul ucapan, “Apa mereka yang menghendaki Munas Oktober 2014 itu tidak ingat Surat Keputusan sebagai Dewan Pengurus DPP Partai Golkar?” Konflik ini bisa diselesaikan, walau tetap saja sejumlah pengurus DPP Partai Golkar hilang dalam struktur DPP Partai Golkar, nyaris tanpa komunikasi politik yang cukup. situasi baru muncul, akibat voting menyangkut UU tentang Pemilihan Langsung Kepala Daerah di DPR RI.

        Sebelas anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar ternyata mendukung opsi pemilihan langsung kepala daerah. Sanksi kemudian datang dengan cepat, yakni pencopotan dari jabatan struktural di dalam tubuh Partai Golkar. Konflik baru ini masih terbatas, tidak meluas. Kalangan elite Partai Golkar malah semakin giat melakukan konsolidasi untuk menghadapi Munas pada bulan Januari 2015. Kandidat-kandidat Ketua Umum Partai Golkar bermunculan, antara lain Agung Laksono, MS Hidayat, Airlangga Hartarto, Priyo Budi Santoso, Hadjriyanto Thohari, Zainuddin Amali dan Agus Gumiwang. Kandidat-kandidat yang bersaing itu melakukan konsolidasi secara diam-diam atau terang-terangan.

        Ketua Mahkamah Partai Golkar Muladi mengungkapkan penyebab terjadinya konflik berkepanjangan di tubuh Golkar. Ia menyayangkan mekanisme islah tidak kunjung terwujud dan perselisihan kepengurusan harus dibawa ke pengadilan.  Muladi mengatakan, Golkar merupakan partai besar dan tua karena telah berdiri pada 20 Oktober 1964.

        Menurut dia, ini yang membuat susunan pengurus menjadi gemuk dan dianggapnya rentan menimbulkan perpecahan di internal. Menurut Muladi, kondisi politik nasional ikut memengaruhi suasana internal Golkar, khususnya dalam pertarungan Pilpres 2014. Saat itu, Golkar gagal mengusung calon dan akhirnya mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang kalah oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

        Dengan kekalahan itu, kata Muladi, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Golkar mengambil sikap berada di luar pemerintahan. Hal tersebut dianggap oleh beberapa tokoh Golkar menabrak doktrin partai yang harus selalu berada di pemerintahan demi menjalankan visi dan misi partai. Selain itu, Muladi juga menyoroti sempitnya jarak antara waktu suksesi kepemimpinan Golkar dengan suksesi kepemimpinan nasional. Hal itulah yang dianggapnya menjadi pemantik pecahnya konflik di Golkar karena ada perdebatan keras mengenai waktu pelaksanaan Musyawarah Nasional IX.

        Perselisihan kepengurusan di tubuh Golkar memuncak karena perbedaan pendapat mengenai waktu pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar. Kubu yang berseberangan dengan Aburizal Bakrie menuding penetapan waktu munas tak demokratis dan merupakan skenario memenangkan calon tertentu secara aklamasi. Rapat pleno penentuan waktu Munas IX yang digelar di Kantor DPP Partai Golkar pada 24-25 November 2014 diwarnai kericuhan.

        Bahkan, pada 25 November 2014, kericuhan melebar, adu jotos terjadi, dan melibatkan dua kelompok pemuda yang mengklaim sebagai organisasi sayap Partai Golkar. Golkar pun terbelah setelah kubu Aburizal Bakrie menyelenggarakan Munas IX di Bali pada 30 November-4 Desember 2014 dan menetapkan Aburizal Bakrie sebagai ketua umum serta Idrus Marham sebagai sekretaris jenderal. Sementara itu, kubu Agung Laksono menggelar Munas IX pada 6-8 Desember 2014 di Jakarta dan menetapkan Agung Laksono sebagai ketua umum serta Zainuddin Amali sebagai sekretaris jenderal.

        Muladi mengatakan, majelis Mahkamah Partai Golkar pada awalnya sepakat untuk memberikan putusan sela dan memelopori islah dengan melibatkan tokoh senior Golkar. Tetapi, putusan sela itu batal dibacakan lantaran majelis Mahkamah Partai kecewa dengan sikap kubu Aburizal Bakrie yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung di tengah berjalannya sidang mahkamah.

        Dalam sidang putusan, empat majelis Mahkamah Partai Golkar menyampaikan pandangan berbeda terkait putusan perselisihan kepengurusan Partai Golkar. Muladi dan HAS Natabaya menyatakan tidak ingin berpendapat karena pengurus Golkar hasil Munas IX Bali, atau kubu Aburizal, sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terkait putusan sela PN Jakarta Barat. Hal tersebut dianggap Muladi dan Natabaya sebagai sikap bahwa kubu Aburizal tidak ingin menyelesaikan perselisihan kepengurusan Golkar melalui Mahkamah Partai Golkar.

        Dengan sikap tersebut, Muladi dan Natabaya hanya memberikan rekomendasi agar kubu yang menang tidak mengambil semuanya (the winners takes all), merehabilitasi kader Golkar yang dipecat, mengakomodasi kubu yang kalah dalam kepengurusan, dan kubu yang kalah diminta untuk tidak membentuk partai baru.

        Sementara itu, anggota lain majelis Mahkamah Partai, Djasri Marin dan Andi Mattalatta, menilai Munas IX Bali yang menetapkan Aburizal Bakrie dan Idrus Marham sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Golkar secara aklamasi digelar tidak demokratis. Djasri dan Andi menilai pelaksanaan Munas IX Jakarta jauh lebih terbuka, transparan, dan demokratis, meski di lain sisi Andi dan Djasri menilai Munas IX Jakarta memiliki banyak kekurangan.

        Ia mengungkapkan, putusan itu harus dilaksanakan berikut sejumlah syaratnya, yaitu mengakomodasi kubu Aburizal secara selektif dan yang memenuhi kriteria, loyal, serta tidak melakukan perbuatan tercela untuk masuk dalam kepengurusan partai. Majelis juga meminta kepengurusan Agung untuk melakukan tugas utama partai, mulai dari musyawarah daerah dan penyelenggaraan Musyawarah Nasional X Partai Golkar. Pelaksanaannya paling lambat adalah Oktober 2016.

        Kalau misalnya pengadilan menolak, maka kuat kedudukan bagi Agung dan mau tidak mau Ical harus memberikan keleluasan untuk Agung memimpin. Kalau kemudian diterima maka artinya Agung itu tidak boleh melakukan apapun karena posisi Ical lebih kuat.

        Seharusnya, drama perebutan Fraksi Golkar harusnya tidak perlu terjadi jika kubu Agung mau menunggu hingga putusan inkracht. Begitupun dengan kubu Ical, angket untuk Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly pun sebaiknya tak perlu dikeluarkan secara tergesa-gesa.

        "Jadi lebih baik Agung ini menunggu pengadilan PTUN. Memang sebaiknya kubu Ical juga tidak mengeluarkan angket karena kedua belah pihak harus menunggu pengadilan dan angket itu Dia juga menyarankan agar Menkumham tak lagi mengeluarkan banding, saat putusan PTUN sudah dikeluarkan. Jika tetap dilakukan, hal itu hanya akan mengulang kejadian di Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Seperti diberitakan, jajaran kepengurusan Agung Laksono menggeruduk lantai 12 Gedung DPR. Mereka ingin mengambil alih fraksi. Drama perebutan Fraksi Golkar itu pun berakhir dengan pengusiran anggota polisi oleh kubu Agung Laksono.

        Namun untuk kepengurusan, pihak Munas Ancol dan Munas Bali masih bertarung di pengadilan.
"Islah yang kami lakukan tidak ada kaitannya dengan kepengurusan. Islah ini berkaitan dengan Pemilukada," kata Agung Laksono, Senin (8/6/2015) di Bandara Internasional Hang Nadim Batam. Kata Agung, jalur islah yang ditempuh pihaknya dan pihak Abu Rizal Bakri (ARB), untuk memastikan Golkar dapat ikut dalam Pemilukada serentak pada Desember 2015.
Agung mengatakan, terkait Pemilukada, ada mekanisme yang disepakti antara pihaknya dan ARB. Dimana para calon atau kandidat dari kedua kubu, akan digabung. Setelah itu semua akan digodok dan menyerahkan ke pihak ketiga.

        Menurutnya, pertemuan ini untuk bertanya jawab dan mendengarkan petunjuk maupun meminta pemaparan mengenai penyelesain kisruh di tubuh Golkar. Hasilnya, kedua kubu sepakat untuk bersatu. Ada empat poin kesepakatan yang akan ditandatangani.

        Empat poin yang telah disepakati kedua pihak adalah mengedepankan kepentingan Golkar sebagai partai. Kedua kubu bersepakat untuk bersatu dalam proses berpartispasi dalam pilkada. "Kami sepakat untuk membentuk tim penjaring bersama yang nanti akan menetapkan mekanisme, sehingga akan serentak melakukan gerakan penjaringan di seluruh Indonesia," katanya. Sementara siapa yang akan menandatangi mengenai persyaratan pilkada, menurut MS Hidayat, pada waktunya akan diputuskan setelah melalui prosaes musyawarah.

        "Yang tentu harus mengacu kepada undang-undang dan peraturan yang ada yang terkait tersebut," katanya. Setelah penandatangan nanti, kedua kubu akan membentuk tim bersama dan para sekjen dari kedua kubu akan menjadi motor untuk memenangkan pilkada. "Untuk menggerakkan teaim work yang sudah kami sepakati, untuk bisa bekerja secara menyeluruh dan pada waktunya. Insya Allah, pada 26 Juli nanti sudah bisa mengikuti pendaftaran calon di KPU," kata MS Hidayat lagi.

        Bersamaan dengan itu katanya, kedua kubu akan melakukan pembicaraan dan upaya-upaya untuk lebih merekatkan kedua kubu sehingga apa yang menjadi cita-cita bersama, menyelesaikan kemelut dan kekisruhan Golkar, ini bisa selesai pada waktunya.

        Disadari atau tidak, sesungguhnya vonis Majelis Hakim Partai Golkar – beranggotakan 4 orang hakim – tidak ganjil — menerima sebagian permohonan kedua kubu yang berselisih itu, adalah keputusan yang cerdik dan cerdas. Vonis itu seperti membuang begitu saja bola panas ke Kemenkumham, selaku lembaga hukum positif. Mahkamah partai, berupaya menggunakan palu pemerintah, untuk memutuskan pemenangnya. Keputusan seri atau sama kuat ini, sesungguhnya tidak memberi surprise apa-apa bagi pemerintahan Jokowi.

        Begitu juga terhadap wakilnya, Jusuf Kalla. Kecuali itu, vonis ini menambah lamanya waktu penyelesaian konflik. Begitu juga terhadap peluang voice dan besar kecilnya dampak keuntungan dari suatu kemelut partai sekelas Golkar. Belum adanya keputusan final yang mengikat, menyebabkan energy para elite dan kadernya kian terkuras. Ini tak cuma hanya di pusat, melainkan juga di daerah.

        Mari kita bahas dalam ruang yang sempit ini, tentang untung dan ruginya partai Golkar, jika pengadilan tingkat kasasi MA, memenangkan salah satu pihak yang bertikai. Namun sebelum kita masuk pada bahasan itu, ada lebih baiknya, kita lihat tentang partai tua ini.

        Golkar adalah partai besar, dengan segudang pengalaman di pemerintahan. Memiliki ketajaman visi dan sumber daya yang handal di perpolitikan tanah air. Banyak kalangan menilai, perpolitikan di Indonesia, tidak ada arti sama sekali, tanpa adanya partai Golkar. Kader-kader partai tua ini, adalah pembaharu, meski berada di lingkungan penguasa yang silih berganti. Itu sebabnya, kemelut yang terjadi di tubuh partai ini, menjadi hal yang menarik untuk disusupi. Apalagi Golkar di parlemen dan KMP, memiliki populasi yang relatif besar.

        Memenangkan kubu ARB – akan memperkuat KMP di parlemen, meski Ketum Golkar tidak berada pada posisi puncak di KMP. Koalisi Merah Putih, menjadi alat kontrol yang efektif dan akurat, dan sewaktu-waktu bisa menjadi teman yang akrab, meski ini sulit. Tujuan lain KMP untuk menguasi kepala daerah tidak lagi efektif, setelah Perpu Pemilu direvisi atas tekanan rakyat. KMP dapat saja sewaktu-waktu jadi blunder politik, begitu kebijakkan pemerintah dihalang-halangi di parlemen. Namun KMP menjadi daya tawar yang menarik untuk Joko Widodo, untuk menjadi presidensial yang indenpenden, lepas dari kungkungan politik yang membesarkan dirinya.

        Lalu dengan memberi kemenangan kepada kubu Agung Laksono, berarti membuka peluang bagi Golkar, untuk membangun citranya dirinya di mata rakyat. Cara ini dilakukan dengan melalui kadernya yang saat ini menjadi orang nomor dua di negeri ini. Posisi Jusuf Kalla sebagai Wapres, sangat strategis untuk membangun citra partai kuning ini kembali. Apalagi JK memiliki pengalaman sebagai orang nomor dua, saat menjadi Ketum Golkar. Ini tentu akan menimbulkan ancaman sebuah manuver politik yang menarik perhatian.

        Posisi Golkar akan menjadi lebih baik, jika dia berada di lingkungan pemerintahan, dibandingkan harus berada di luar. Selain karena pengalaman, rakyat juga akan menjadi lebih mudah melihat Golkar dengan berbagai attitudenya, dibandingkan di parlemen. Walau di bawah panji-panji KMP, Golkar cs menguasai parlemen. Namun perjuangan Golkar lebih nyata terlihat oleh rakyat, dibandingkan harus berada di luar. Apalagi banyaknya kader partai kuning ini yang menjadi kepala daerah. Ini akan memberikan harapan perlindungan bagi kadernya di muka hukum.


        Pilihan ketiga adalah – memerintahkan pimpinan hasil Munas Golkar priode 2009 – 2014 di Riau – bersama-sama dengan kubu Agung Laksono, untuk kembali menggelar Munas Golkar – lalu pemerintah (Kemenkumham) hadir sebagai wasitnya. Selama masa prosesi Munas, personel Kemenkumham tidak boleh tidur, walau sedetikpun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar