Datangnya musibah sanksi atau suspend dari FIFA kepada Indonesia memantik emosi bagi seluruh elemen pecinta sepak bola nasional. kemarin secara resmi FIFA memberikan surat yang ditandatangani Sekjennya Jerome Valcke berupa sanksi kepada Indonesia. Penyebab sanksi ini tak lain adalah intervensi Menpora, Imam Nahrawi kepada PSSI sejak awal tahun 2015. Padahal FIFA sebelumnya sudah memberikan tenggat waktu hingga 29 Mei agar Menpora dan PSSI mampu duduk bersama dan menyelesaikan permasalahan ini. Menanggapi hal ini, Koordinator Barisan Mahasiswa Anti Intervensi, Bayu Mahendra mengatakan saat ini Republik Indonesia diskenariokan pecah menjadi 3 bagian sepertinya sudah berjalan
Dia membeberkan hal ini diawali dari Persipura yg dikerjai oleh aparat negara sehingga tidak bisa menjamu Pahang FC sehingga mengakibatkan tidak bisa lanjut ke babak selanjutnya. "Pukulan telak lagi adalah setelah sanksi FIFA datang semakin menutup harapan persipura untuk meraih prestasi lebih di tahun ini," bebernya.
Media Officer Arema Cronus, Sudarmaji, menyatakan prihatin dan sedih atas jatuhnya sanksi dari FIFA terhadap Indonesia. Peringatan dari pencinta bola yang selama ini diteriakkan kepada pemerintah, menurut Sudarmaji, tidak digubris oleh pemerintah, hingga sanksi tersebut turun. "Sekarang kita dikucilkan, siapa yang mesti bertanggungjawab atas kerugian ini," kata Sudarmaji. Menurutnya, pemerintah harus segera melakukan tindakan nyata untuk memperbaiki dampak dari sanksi yang diturunkan oleh FIFA di antaranya seperti mencabut SK Pembekukan PSSI, dan menghormati keputusan PTUN.
Selain berdampak pada sepakbola nasional, sanksi tersebut juga berimbas buruk bagi klub. Menurutnya, kepercayaan dari mitra sponsor dan investor Arema ikut rusak akibat jatuhnya sanksi FIFA. Manajemen berencana untuk segera menyusun strategi demi membangun lagi kepercayaan yang hancur akibat sanksi itu. “Kita segera berdiskusi kembali dengan manajemen dan tim,” ucap Sudarmaji menjelaskan. Seperti diberitakan, FIFA menjatuhkan sanksi kepada Indonesia pada Sabtu petang, 30 Mei 2015. Sanksi berupa larangan bertanding di turnamen internasional dan beberapa kerja sama dengan FIFA dari segi peningkatan kemampuan pelatih sampai wasit juga dijatuhkan.
FIFA meminta PSSI kembali mengatur sepakbola Indonesia secara Independen tanpa campur tangan pemerintah, pengelolaan tim nasional diberikan kembali pada PSSI, tanggung jawab seluruh kompetisi PSSI diberikan pada otoritas PSSI dan bidang di bawahnya dan seluruh klub yang mendapat lisensi PSSI sesuai dengan Peraturan Lisensi Klub PSSI harus bisa bertanding di kompetisi PSSI. Manajemen PT Kabau Sirah Semen Padang belum menentukan nasib para pemainnya setelah Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) diganjar sanksi oleh Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA). Direktur Teknik Semen Padang Asdian mengatakan sanksi itu akan sangat berdampak pada timnya, karena tidak ada kepastian mengenai jadwal kompetisi.
Asdian akan membicarakan soal nasib tim Semen Padang dengan komisaris perusahaan tersebut. Menurut dia, dampak sanksi FIFA bukan hanya akan dirasakan oleh klub, tapi juga para pemain yang kehidupannya sangat bergantung pada kompetisi sepak bola. “Kami ingin badai ini cepat berlalu,” ujarnya. Rencana pemerintah untuk menggulirkan kompetisi setelah Lebaran sangat sulit diterima Semen Padang. Menurut dia, gelaran kompetisi liga profesional akan sangat membutuhkan banyak biaya dan sponsor untuk bertanding. “Klub memiliki kehidupan profesional, punya biaya, dan kehidupan dari sponsor,” ucapnya.
Sebelumnya, pada Sabtu pekan lalu, FIFA memberikan sanksi kepada PSSI. Sanksi dari FIFA tersebut merupakan buntut dari kisruh persepakbolaan Indonesia. Dengan sanksi tersebut, tim sepak bola Indonesia tidak bisa berkiprah dalam kejuaraan atau kompetisi level internasional. Dengan sanki dari FIFA tersebut banyak dari beberapa team sepak bola indonesia yang Seluruh pemain Semen Padang terpaksa pulang kampung, karena tidak ada kegiatan seiring pembekuaan PSSI oleh Menpora serta jatuhnya hukuman FIFA kepada sepakbola Indonesia.
Keluarnya sanksi FIFA yang dijatuhkan terhadap sepakbola Indonesia membuat klub Semen Padang seperti mati suri. Kompleks perumahan pemain kosong tak berpenghuni. Kantor manajemen klub juga dikunci dan tidak ada aktivitas. Seperti diketahui, sepakbola Indonesia kembali terguncang, FIFA akhirnya menjatuhkan sanksi kepada PSSI. FIFA menilai pemerintah Indonesia melalui Kemenpora melakukan pelanggaran terkait independensi PSSI.
Sanksi yang dijatuhkan FIFA kepada PSSI memang dikehendaki Menpora. Buktinya sejak awal raker dengan Menpora belum lama ini, kesimpulan raker mengindikasikan ke arah sanksi oleh organisasi sepak bola internasional tersebut. Kesimpulan pertama, lanjut Jefirtson, mengapresiasi rencana pemerintah untuk pembinaan sepak bola yang lebih baik sehingga prestasi sepak bola Indonesia bagus. Kemudian kesimpulan kedua, dalam usaha pembinaan sepak bola itulah maka Komisi X berharap supaya pemerintah hati-hati agar tidak disanksi oleh FIFA.
Kesimpulan kedua ini ditolak dan tidak disetujui Menpora padahal merupakan signal agar pemerintah hat-hati. Sampai saat itu rapatnya dead lock sebab menolak kata-kata sanksi itu. “ Ini indikasi memang dari awal menghendaki ada sanksi FIFA,” tegas politisi asal Dapil NTT ini. Ke depan, Komisi X kemungkinan akan menggulirkan hak interpelasi kepada Menpora. Secara pribadi, kata Kore, setuju digulirkan interpelasi untu pemerintah. Meski demikian dirinya masih harus menyampaikan kepada Pimpinan fraksi dan juga loby kepada fraksi lain untuk menggulirkan interpelasi. “ Saya lihat teman-teman fraksi lain setuju sebab berdampak kepada masyarakat luas. Saya optimis,” katanya.
Menanggapi mundurnya Presiden FIFA Sepp Blater, Kore menyatakan tak ada dampak bagi persepakbolaan tanah air, sebab menyangkut masalah pribadi. Hanya saja dia juga mendesak mafia-mafia sepakabola Indonesia harus diberantas. Selama ini seolah-olah FIFA raja, tidak bisa disentuh. Dengan mundurnya Blater diharapkan ada Pimpinan FIFA yang baru sehingga Indonesia juga mendaptakan benefit yang lebih banyak dari FIFA. Saat ditanya bahwa langkah controversial Menpora itu untuk mereformasi PSSI, Jefirston mengatakan dirirnya tidak melihat road map yang bagus dari Menpora. Dia menduga sanksi FIFA dijatuhkan karena masalah-masalah individu yang dibawa ke ranah politik.
“ Saya yakin memang ada abuse of power Menpora untuk membekukan PSSI. Namun Menpora tidak mempertimbangkan efeknya. Bayangkan, bagaimana para pemain bisa hidup dengan anak-anaknya, keluarganya, official dan orang-orang yang hidup dari sepak bola, pengurus. Dan terpenting hiburan masyarakat,” katanya. Kalau ada orang diduga korupsi, orangnya ditangkap bukan PSSI yang dibekukan. Terkait Tim Transisi, dengan tegas Jeffry menyatakan menolak. “ Saya usulkan Tim Transisi dibubarkan saja. Itu salah langkah dari Menpora. Yang tidak berprestasi bukan hanya PSSI, cabang olah raga lain juga ada yang minim prestasi,” kata Jeffri menambahkan(parle/aya Para stakeholder sepak bola di negeri ini terlalu banyak berkomentar dan terkesan takut menerima perubahan. Buktinya, rentetan kritik langsung terlontar dari banyak orang ketika ada pihak-pihak yang ingin membangun kembali persepakbolaan Indonesia dari awal.
Beberapa waktu lalu, Menpora berencana menggelar turnamen yang melibatkan seluruh klub profesional di tanah air. Jumlah hadiah yang ditawarkan cukup besar, yakni Rp5 miliar untuk pemenang, Rp3 miliar kepada runner-up, dan Rp2 miliar bakal diberikan kepada peringkat ketiga. Hadiah yang ditawarkan tidak perlu dibahas terlalu jauh. Esensi penting yang patut dicermati adalah kemauan pemerintah untuk menggulirkan kompetisi agar roda sepak bola di Indonesia kembali berputar. Bukankah itu yang selama ini diinginkan semua orang?
Konsep dan teknis kompetisi yang ditawarkan Menpora memang belum matang. Tapi bukan berarti harus dihujani kritik. Harusnya, semua pihak membantu keinginan Menpora agar kompetisi kembali berjalan dan ketakutan para pesepak bola, ofisial, dan pegadang kehilangan nafkah tidak terjadi. Sanksi FIFA tidak perlu diratapi secara mendalam. Karena memang pada dasarnya sanksi tidak akan mematikan industri sepak bola di Indonesia secara keseluruhan. Pasalnya, Indonesia tetap diizinkan menggelar kompetisi mandiri dan profesional di dalam negeri. Tapi ya keseruan sedikit menurun karena sanksi tersebut membuat kompetisi tidak boleh diikuti oleh pemain asing. Makan Konate, Fabiano Beltrame, dan kawan-kawan harus pulang kampung karena tidak mendapat restu bermain di negara yang sedang dihukum.
Akan tetapi, kenyataan itu juga tak pantas disesali secara berlebihan. Indonesia bisa belajar dari nasib yang dialami Irak pada 2009 lalu. Ketika itu, para pemain asing di Irak juga terusir karena negara itu diberi sanksi oleh FIFA. Kejadiannya mirip dengan yang dialami Indonesia. Pada masa itu, FIFA merasa perlu mengeluarkan sanksi karena menganggap pemerintah Irak sudah bertindak terlalu jauh.
Persis seperti yang terjadi di Indonesia pula, masyarakat Irak pada awalnya juga ketakutan menerima putusan itu. "Sanksi akan berimbas buruk kepada para pemain dan tim nasional. Masyarakat juga tidak akan memiliki kesempatan untuk menyaksikan dan mendukung idolanya," kata Mahdi Ati Al-Khrkhi, seorang ketua suporter timnas Irak seperti dikutip IWPR.
Tapi apakah ketakutan itu menjadi kenyataan? Tidak! Sepak bola Irak justru melangkah lebih maju usai diberi sanksi. Pengembangan jadi lebih maksimal karena seluruh tim mengandalkan pemain lokal. Tanpa ada pemain asing, pemain lokal mendapat lebih banyak menit main sehingga skill mereka terasah secara cepat.
Kondisi ini menimbulkan efek positif. Setelah sanksi dari FIFA dicabut, Irak langsung siap menghadapi ketatnya persaingan di persepakbolaan internasional. Para pemain-pemain muda yang digembleng di kompetisi selama Irak disanksi berhasil unjuk gigi di sejumlah turnamen sejak 2010--2013. Paling dahsyat, tentu ketika timnas Irak U-20 mampu menembus babak semifinal Piala Dunia U-20 2013.
Irak dengan segala keterbatasannya saja mampu berbicara banyak hingga ke Piala Dunia U-20. Indonesia seharusnya juga bisa melakukan hal yang sama. Namun semua itu hanya bisa dilakukan andai seluruh stakeholder sepak bola di tanah air mau menyelesaikan masalah secara bersama. Nasi sudah menjadi bubur. FIFA sudah bertindak dan menjatuhkan sanksi kepada Indonesia.
Saatnya mencari solusi dan menjadikan visi PSSI 2020, yakni membangun sepak bola Indonesia modern yang ditopang oleh pembinaan serius terhadap pesepak bola muda. Di level organisasi, PSSI harus banyak dibenahi agar menjadi profesional sehingga menopang prestasi Timnas menuju pentas dunia, bukan malah saling mengkritik dan mencari kesalahan orang lain.
Namun ketika FIFA memberikan sanksi pada sepakbola Indonesia, Kemenpora masih belum ada tanda-tanda untuk mencabut pembekuan PSSI. Ultramania dan sebagian komunitas suporter di Indonesia tak memihak siapapun dan hanya ingin kompetisi segera berjalan Suporter hanya ingin kompetisi bisa jalan dan kami bisa menyaksikan laga lagi. Kalau seperti ini, kompetisi mulai ISL hingga tingkat lokal juga mati. Banyak pemain hingga pedagang yang kena dampak dari tiadanya kompetisi
Pihaknya akan menunggu bagaimana kelanjutan sidang gugatan PSSI di PTUN. Jika putusan PTUN tak memengaruhi kebijakan Kemenpora untuk mencabut pembekuan PSSI, ada dua pilihan, menggelar demo serentak di tiap daerah atau kepung ke Kemenpora dan Istana Negara.
"Kalau nglurug ke Jakarta, maka kami juga akan mengirim surat ke Presiden terkait mati surinya sepakbola Indonesia. Hampir semua suporter di Indonesia merespon positif rencana demo ini," pungkasnya.
Kemenpora menganggap kepengurusan baru PSSI dibawah kepemimpinan La Nyalla Mattalitti tidak sah, sehingga mereka enggan menerima ajakan dialog tersebut. PSSI 'kan sudah dibekukan. Kapasitasnya apa?" kata Deputi harmonisasi dan kemitraan Kementerian Olah raga, Gatot S Dewa Broto Kemenpora bersikukuh akan membentuk tim transisi. Tim inilah yang akan menggelar kongres untuk membentuk kepengurusan PSSI yang baru Sebaliknya, PSSI pimpinan La Nyalla Mattalitti tidak yakin rencana kongres itu akan terselenggara secara mulus.
Lebih lanjut, PSSI memperingatkan bahwa langkah Kemenpora membekukan PSSI tidak dapat dibenarkan, karena PSSI adalah anggota FIFA, Asosiasi sepakbola dunia.
Mereka juga mengganggap langkah Kemenpora itu sebagai intervensi yang dapat melahirkan sanksi dari FIFA. Tetapi Menteri Pemuda dan olah raga, Imam Nahrawi menepis kekhawatiran ini: "Saya tidak yakin itu.
Dan saya kira ini saat yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk melakukan persiapan lebih serius lagi menata prestasi sepak bola kita."Sanksi pembekuan PSSI dikeluarkan setelah organisasi induk sepak bola Indonesia ini tidak mengakui hasil rekomendasi Badan Olahraga profesional Indonesia, BOPI, yang melarang keikutsertaan Arema Cronus dan Persebaya Surabaya dalam liga sepak bola. Kedua klub liga ini dinyatakan tidak lolos persyaratan peserta kompetisi liga, karena masalah dualisme kepengurusan. Namun tuntutan Kemenpora itu tidak digubris. PSSI tetap mengizinkan Arema dan Persebaya bertanding, awal Maret 2015 lalu.
Di sinilah, Kemenpora kemudian menulis surat peringatan pertama dan kedua, tetapi tidak ditanggapi, dan akhirnya berujung pada pembekuan PSSI ketika organisassi ini menggelar Kongres luar biasa di Surabaya. Kemenpora dan PSSI diminta segera menyelesaikan konflik di antara mereka dan melepaskan egoisme masing-masing demi menyelamatkan masalah yang lebih penting yaitu masa depan sepak bola Indonesia. Hal ini disuarakan sejumlah pihak menanggapi konflik terbuka Kemenpora-PSSI terkai tpemberian sanksi berupa pembekuan PSSI oleh Kemenpora.
Mereka yang menganggap sepi peluang jatuhnya sanksi FIFA terhadap Indonesia salah prediksi. Ini bisa dimaklumi karena landasan prediksi tersebut salah karena tidak mengerti peraturan yang berlaku dalam FIFA khususnya yang terkait dengan kewajiban anggota serta apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Tentu saja sanksi tersebut tidak ada kaitan dengan populasi suatu negara anggota FIFA. Juga aspek bisnis tidak masuk hitungan FIFA. Bahkan kalau ada yang mengangggap potensi bisnis sepakbola yang sangat besar di Indonesia, nampaknya ini kesimpulan yang tidak tepat.
Akan halnya potensi bisnis sepakbola di Indonesia, yang harus menjadi basis adalah daya beli masyarakat kita. Walaupun secara populasi Indonesia menduduki negara nomor empat di dunia, daya belinya jauh di bawah banyak negara maju. Ini terlihat dengan harga tiket untuk menonton pertandingan sepakbola relatif rendah. Tidak heran jika gaji para pemain sepakbola profesional di Indonesia tidak besar. Sementara nilai transfer pemain juga kecil. Fakta lain bahwa klub-klub sepakbola kita kemampuan secara finansial tidak besar.
Walau begitu, banyak pihak memperkirakan bahwa potensi sepakbola kita akan meningkat seiring dengan meningkatnya laju pembangunan yang pada gilirannya akan meningkatkan daya beli masyarakat Indonesia. Faktor ini memang tidak dipandang sebelah mata oleh para sponsor. Bagaimanapun sepakbola sudah merupakan industri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar